
Bukakabar - Infeksi pada saluran pernapasan anak kecil sering kali dianggap wajar dan ringan, seperti pilek atau flu biasa. Namun, ketika bayi Anda mulai batuk, demam, dan napasnya tiba-tiba terdengar berbunyi atau seperti tersengal, itu bisa jadi lebih dari sekadar “flu biasa”.
Salah satu penyebab yang perlu diwaspadai adalah Infeksi Saluran Pernapasan Bawah oleh Respiratory Syncytial Virus (RSV) atau biasa disingkat RSV — sebuah virus yang banyak menyerang bayi, khususnya yang berusia di bawah enam bulan.
Pada acara Sahabat Peduli Journalist Club: “Bincang Pakar: Respiratory Syncytial Virus (RSV)” yang diadakan oleh Pfizer Indonesia di Jakarta (31 Oktober 2025), dokter spesialis anak Ian Sutedja menjelaskan bahwa RSV adalah salah satu virus yang bisa menyebabkan ISPB (Infeksi Saluran Pernapasan Bawah) dan memiliki potensi bahaya lebih besar pada bayi dibandingkan anak yang lebih besar.
Ia menegaskan bahwa bayi dengan gejala batuk, demam, sesak napas dan bunyi mengi sangat mungkin pengaruh RSV/bronkiolitis.
Dalam artikel ini kita akan membahas tentang apa itu RSV, mengapa bayi sangat rentan, bagaimana perbedaan gejalanya dengan flu atau pilek biasa, bagaimana cara mendeteksi dan mencegahnya — termasuk data terbaru yang relevan untuk Indonesia. Tulisan ini bukan sebagai pengganti diagnosis dokter, melainkan sebagai informasi bagi orang tua dan pengasuh agar lebih waspada dan siap.
Apa itu RSV?
Respiratory Syncytial Virus (RSV) adalah virus yang sangat umum dan menyerang saluran pernapasan, mulai dari hidung, tenggorokan, hingga paru-paru.
Virus ini termasuk keluarga Paramyxoviridae dan terbagi menjadi dua genotipe utama: RSV-A dan RSV-B. Hampir semua anak akan pernah terinfeksi RSV sebelum usia dua tahun.
Secara umum, pada anak dan orang dewasa dengan sistem imun normal, infeksi RSV bisa terlihat seperti “pilek biasa”. Tapi pada bayi, khususnya yang berusia di bawah enam bulan atau dengan kondisi medis tertentu, infeksi ini bisa berkembang menjadi lebih serius — seperti bronkiolitis atau pneumonia.
World Health Organization (WHO) menyebut bahwa setiap tahun, RSV menyebabkan lebih dari 3,6 juta rawat inap dan sekitar 100 000 kematian di anak-anak di bawah usia lima tahun di seluruh dunia. Dan sebagian besar kematian tersebut terjadi di negara berpenghasilan rendah sampai menengah.
Di Indonesia pun, RSV menjadi perhatian. Pada tahun 2025, lembaga tertentu melaporkan bahwa hingga awal tahun di wilayah Jakarta tercatat 214 kasus ISPA terkait RSV. Jadi, meskipun terdengar seperti “flu biasa”, RSV sebaiknya tidak dianggap remeh.
Mengapa bayi sangat rentan terhadap RSV?
Beberapa faktor membuat bayi, terutama di bawah enam bulan, sangat rentan terhadap RSV:
-
Sistem imun yang belum matang
Bayi baru lahir hingga usia beberapa bulan memiliki imun yang belum berkembang sepenuhnya. Akibatnya, kemampuan melawan virus seperti RSV lebih rendah dibanding anak yang lebih tua. Dokter Rinawati Rohsiswatmo (Sp. A) dalam materi edukasi oleh Pfizer Indonesia menyebut bahwa bayi baru lahir rentan karena sistem kekebalannya belum sempurna. -
Saluran udara yang kecil dan sempit
Pada bayi, bronkioli dan saluran udara kecil masih kecil ukurannya. Bila terjadi inflamasi (peradangan), maka lebih mudah terjadi obstruksi yang menyebabkan sesak atau napas berbunyi. -
Penularan yang mudah
RSV menyebar melalui udara ketika orang yang terinfeksi batuk atau bersin. Selain itu, virus juga bisa tertular melalui sentuhan permukaan yang terkontaminasi.
Bayi sering menyentuh benda-benda dan kemudian memasukkan tangan ke mulut atau hidungnya — kondisi yang mempermudah penularan. -
Beban penyakit yang berat meski gejalanya ringan pada awalnya
Seperti yang dijelaskan oleh dr. Ian Sutedja, meski gejala awal mungkin ringan (batuk, pilek, demam ringan), infeksi RSV bisa berkembang hingga ke saluran pernapasan bawah (bronkiolitis) dalam derajat sedang hingga berat.
Hal ini berarti bahwa deteksi dan penanganan cepat sangat penting.
Jadi, penting bagi orang tua dan pengasuh untuk mengenali bahwa bayi adalah kelompok rentan yang membutuhkan perhatian ekstra bila mengalami gejala saluran napas.
Gejala umum RSV pada bayi: batuk, demam, dan sesak napas
Gejala infeksi RSV pada bayi bisa sangat mirip dengan pilek atau influenza. Oleh karena itu, perbedaan kecil namun penting harus diperhatikan. Berikut beberapa gejala umum dan tanda-bahaya yang harus kita waspadai:
Gejala umum yang sering muncul
-
Batuk berdahak atau kering yang lama atau makin memburuk.
-
Hidung meler atau tersumbat, pilek.
-
Demam, bisa ringan atau cukup tinggi.
-
Napas yang cepat atau sesak ringan, mungkin ada bunyi seperti “mengi” (wheezing) saat napas. Dokter Ian menyebut “bunyi mengi saat diperiksa” sebagai petunjuk kuat.
-
Nafsu makan menurun, bayi tampak lesu atau rewel.
Tanda-bahaya yang menunjukkan kondisi berat
-
Napas menjadi sangat cepat atau terasa berat, perut bagian bawah ikut bergerak (tarikan interkostal).
-
Napas berbunyi “mengi” banget atau “ngik-ngik”.
-
Garis-garis kulit di antara tulang rusuk atau di leher terlihat tertarik saat napas (indrawing).
-
Bibir atau ujung kuku mulai memerah kebiruan (sianosis).
-
Bayi tampak tidak mau makan atau minum, dehidrasi timbul.
-
Demam sangat tinggi atau demam yang tidak kunjung turun sambil gejala napas makin parah.
Membandingkan dengan flu atau pilek biasa
Dalam studi yang membandingkan infeksi RSV dengan influenza dan COVID‑19 pada anak, ditemukan bahwa gejala seperti sesak napas (dyspnoea), saturasi oksigen yang rendah, dan banyak perubahan pada auskultasi paru (bunyi napas) lebih sering terjadi pada RSV dibanding flu atau COVID-19.
Dengan kata lain: apabila bayi Anda mengalami batuk dan pilek biasa, namun kemudian muncul sesak atau napas berbunyi yang makin jelas — itu adalah alarm untuk segera ke dokter.
Bagaimana penularan RSV dan kapan risiko tertinggi?
Cara penularan
-
Melalui droplet udara: ketika orang yang terinfeksi batuk atau bersin, partikel virus bisa terhirup oleh bayi.
-
Melalui kontak langsung/indirect: permukaan benda (meja, mainan, pegangan tangan) yang terinfeksi RSV kemudian disentuh bayi lalu masuk ke mulut/hidung.
-
Karena bayi sering dicium oleh banyak orang, atau berada di ruangan tertutup dengan banyak anak, maka risiko pertukarannya lebih besar.
Kapan risiko paling tinggi?
-
RSV banyak muncul secara musiman, terutama saat musim dingin atau hujan. Namun di Indonesia, musimnya bisa agak berbeda karena iklim tropis.
-
Data global menunjukkan bahwa rumah sakit di Jerman mencatat penurunan signifikan kasus RSV pada bayi di musim 2024/2025 dibanding sebelumnya berkat intervensi preventif.
-
Di Indonesia dan Asia Tenggara, meskipun data lengkap masih terbatas, lembaga surveilans mencatat tren kasus RSV muncul pada akhir tahun hingga awal tahun berikutnya.
-
Karena kondisi seperti cuaca dingin atau ruangan dengan AC terus-menerus juga bisa memperbesar risiko penularan.
Apa artinya untuk orang tua?
-
Bila ada bayi di rumah yang sedang batuk atau pilek, sebaiknya hindari kerumunan besar, terutama dengan banyak anak atau di ruang tertutup.
-
Hindari membawa bayi ke tempat ramai jika sedang batuk/pilek atau jika ada banyak anak lain yang sakit.
-
Pastikan kebersihan terutama tangan selalu dilakukan, serta mainan atau benda yang sering disentuh bayi dibersihkan.
-
Segera bawa ke dokter bila batuk makin parah, sesak napas muncul, atau demam tak kunjung membaik.
Data terkini: situasi global dan Indonesia (sekilas)
Data global
-
WHO menyebut bahwa RSV menyebabkan tiap tahun lebih dari 3,6 juta rawat inap dan sekitar 100 000 kematian pada anak di bawah usia lima tahun.
-
Studi di Amerika Serikat menunjukkan bahwa pada musim 2024/2025, tingkat rawat inap bayi usia 0-7 bulan akibat RSV menurun hingga 43% dibanding periode 2018–2020 (data dari RSV-NET) maupun 28% dari NVSN.
-
Di Jerman, sepanjang musim 2024/2025 incidence RSV pada bayi (<1 tahun) turun sekitar 54% dibanding sebelumnya.
Data Indonesia dan wilayah sekitar
-
Di Jakarta, tercatat 214 kasus ISPA terkait RSV hingga awal tahun 2025.
-
Keterangan media menyebut bahwa “sekitar 6,6 juta kasus infeksi RSV terjadi setiap tahun pada bayi di bawah enam bulan di seluruh dunia dengan 45 000 kematian” menurut data The Lancet (meski angka tersebut tampak sangat besar dan mungkin estimasi).
-
Surveilans Indonesia menunjukkan bahwa data RSV masih dilaporkan secara terbatas di beberapa minggu epidemiologi, dan belum menunjukkan angka besar di publik karena mungkin belum banyak dideteksi secara spesifik.
Kenapa angka domestik bisa rendah/terbatas?
-
Karena RSV sering dianggap “flu biasa” dan tidak selalu diperiksa spesifik oleh laboratorium.
-
Banyak fasilitas kesehatan mungkin fokus pada influenza atau COVID-19 sehingga RSV kurang mendapat perhatian.
-
Kurangnya program imunisasi atau skrining sistematis untuk RSV di Indonesia (meskipun sudah ada edukasi mengenai pentingnya pencegahan).
Dengan data-data di atas, kita bisa menarik bahwa meskipun beberapa perkembangan positif mulai terlihat di negara maju, di Indonesia dan negara dengan fasilitas kesehatan yang masih terbatas, kewaspadaan tetap sangat penting.
Bagaimana dokter mendiagnosa dan membedakan RSV dengan flu biasa atau pilek?
Saat bayi datang ke dokter dengan gejala batuk, demam dan sesak, dokter spesialis anak seperti dr. Ian Sutedja menyebut bahwa untuk mengetahui apakah itu RSV atau influenza biasa, diperlukan pemeriksaan yang lebih rinci. Berikut ini proses umum yang dilakukan:
-
Dokter melakukan anamnesis: menanyakan seberapa lama gejala muncul, apakah ada demam, batuk, napas berbunyi, adanya kontak dengan anak/bayi lain yang sakit, riwayat prematuritas atau kondisi medis lainnya.
-
Pemeriksaan fisik: dokter akan mengecek napas bayi, apakah ada tarikan otot di antara tulang rusuk, tarikan leher, bunyi napas seperti mengi, saturasi oksigen (jika tersedia).
-
Jika dicurigai infeksi saluran bawah (ISPB) seperti bronkiolitis akibat RSV, dokter bisa memutuskan untuk melakukan tes laboratorium (seperti swab nasofaring) untuk mendeteksi virus RSV atau influenza. Namun tidak semua rumah sakit melakukan ini secara rutin.
-
Berdasarkan pemeriksaan, jika ditemukan bahwa bayi memiliki napas yang cepat, mengi, saturasi rendah atau tanda tarikan napas — maka kemungkinan RSV atau bronkiolitis lebih tinggi dibanding pilek biasa. Seperti yang dijelaskan dr. Ian: “semua bayi di bawah dua tahun dengan gejala batuk, demam, sesak napas, dan bunyi mengi saat diperiksa, itu hampir pasti penyebabnya RSV, infeksi bronkiolitis.”
-
Dokter kemudian memutuskan penanganan: Jika ringan, cukup rawat di rumah dengan pemantauan. Jika sedang/berat, bisa membutuhkan rawat inap, oksigen, atau perawatan intensif.
Intinya: gejala sesak napas dan bunyi napas sangat perlu diperhatikan, dan bila bayi menunjukkan tanda-tanda tersebut jangan dianggap enteng.
Penanganan dan perawatan bayi dengan RSV
Meskipun belum ada “obat spesifik” untuk RSV yang bisa diberikan seperti antibiotik (karena RSV adalah virus), ada langkah-penanganan penting yang bisa dilakukan agar bayi pulih dengan baik dan mencegah komplikasi.
Untuk kasus ringan di rumah
-
Pastikan bayi minum cukup (ASI atau susu formula) dan tetap terhidrasi.
-
Jaga kebersihan: sering-sering cuci tangan sebelum memegang bayi, bersihkan mainan, hindari asap rokok atau polusi.
-
Jaga agar bayi tetap nyaman suhu ruangan dan kelembapannya; hindari suhu terlalu dingin atau ruangan tertutup penuh tanpa ventilasi.
-
Observasi: Pantau batuk, napas bayi, apakah ada sesak, napas berbunyi, apakah bayi tampak lesu atau kurang minum. Bila kondisi memburuk — segera hubungi dokter.
-
Jangan memaksakan aktivitas bayi; berikan waktu istirahat.
Bila gejala mengarah ke sedang/berat
-
Dokter bisa memutuskan rawat inap agar bayi mendapatkan oksigen tambahan atau aliran udara lembap (humidified oxygen).
-
Pemantauan saturasi oksigen dan kondisi bayi secara berkala.
-
Perawatan suportif: menjaga suhu tubuh, cairan, makan.
-
Hindari pemberian antibiotik tanpa indikasi (hanya jika terdapat infeksi bakteri sekunder).
-
Beberapa rumah sakit juga bisa menggunakan terapi yang lebih intensif jika ada komplikasi seperti pneumonia.
Inovasi pencegahan & terapi terkini
-
Baru-baru ini, telah tersedia produk imunisasi seperti antibodi monoklonal — Nirsevimab — yang ditujukan untuk bayi baru lahir atau bayi di musim RSV untuk mencegah infeksi berat. Studi menunjukkan penggunaan nirsevimab mengurangi rawat inap dan perawatan intensif akibat bronkiolitis RSV hingga signifikan.
-
World Health Organization (WHO) telah mengeluarkan rekomendasi pada 30 Mei 2025 terkait penggunaan vaksin ibu hamil dan antibodi monoklonal untuk melindungi bayi dari RSV.
-
Meski demikian, akses ke produk-produk tersebut di Indonesia masih terbatas dan belum menjadi program nasional secara luas. Orang tua perlu berdiskusi dengan dokter anak mengenai opsi pencegahan yang tersedia.
Pencegahan: langkah-praktis untuk orang tua dan lingkungan
Sebelum bayi Anda terkena RSV atau saat ia sudah mulai menunjukkan gejala, berikut langkah-praktis yang bisa Anda lakukan:
-
Cuci tangan secara rutin — Sebelum dan sesudah memegang bayi, setelah memegang mainan, atau setelah keluar rumah.
-
Hindari keramaian/ruangan tertutup — Terutama bila musim flu/virus dan banyak anak yang sedang batuk.
-
Pastikan mainan, benda yang sering disentuh bayi dibersihkan — Virus bisa bertahan di permukaan.
-
Ventilasi ruang dengan baik — Udara yang dipertukarkan membuat lingkungan lebih aman.
-
Hindari asap rokok/iseu polusi — Asap bisa memperburuk saluran napas bayi.
-
Apabila bayi batuk/pilek, hindari paparan ke anak-anak lain atau orang sakit — Karena penularannya sangat cepat.
-
Observasi dengan seksama — Jika batuk makin parah, demam naik, napas makin cepat atau berbunyi, segera ke dokter.
-
Diskusikan opsi pencegahan bersama dokter — Tanyakan apakah bayi Anda bisa mendapatkan antibodi monoklonal atau apakah ibu hamil Anda bisa mendapatkan vaksin RSV (jika tersedia).
-
Imunisasi rutin lainnya tetap dilakukan — Meski RSV spesifik belum jadi imunisasi wajib di banyak tempat, menjaga imunisasi bayi terhadap penyakit lain tetap penting agar daya tahan tubuhnya optimal.
-
Ketahui kapan harus segera ke tenaga medis — Jika napas makin berat, ada tarikan otot pernapasan, bibir atau ujung kuku kebiruan, bayi sangat lesu atau tidak mau minum — ini adalah tanda bahwa kondisi makin serius.
Dengan rutin melakukan pencegahan dan selalu waspada terhadap gejala-awal, kita bisa meminimalkan risiko bayi terkena infeksi RSV yang serius.
Mengelola kekhawatiran orang tua dan pengasuh
Sebagai orang tua atau pengasuh, wajar jika Anda merasa khawatir ketika melihat bayi Anda batuk atau demam. Berikut beberapa hal yang bisa membantu Anda merasa lebih tenang dan tetap sigap:
-
Ingat bahwa batuk dan pilek memang sering terjadi pada bayi dan anak kecil — namun yang membedakan adalah jika ada sesak napas, napas berbunyi, atau tarikan otot napas.
-
Bila Anda merasa “kayaknya hanya flu biasa”, tetap pantau kondisi bayi secara aktif. Catat kapan gejala mulai, apakah demam muncul, apakah napas makin cepat, apakah napas berbunyi. Catatan ini akan sangat membantu dokter.
-
Jangan menunda untuk ke dokter jika Anda merasa ada yang “tidak biasa”. Penanganan lebih awal terhadap kondisi RSV atau bronkiolitis bisa mencegah komplikasi.
-
Diskusikan dengan dokter anak Anda mengenai risiko-risiko tambahan (seperti bayi lahir prematur, penyakit jantung bawaan, atau kondisi paru) yang bisa memperbesar bahaya RSV. Jika ada risiko, tanya juga mengenai pencegahan yang lebih spesifik.
-
Pastikan lingkungan sekitar bayi mendukung kesehatan pernapasannya: udara bersih, menjauhi asap (rokok, pembakaran), dan ramai anak sakit diundang ke dalam rumah secara terbatas.
-
Ikuti perkembangan informasi terbaru. Sebagai contoh, kini telah tersedia rekomendasi global dari WHO tentang imunisasi RSV. Hal ini menunjukkan bahwa pencegahan terhadap RSV makin bisa dilakukan secara aktif.
Ringkasan dan Ajakan Bertindak
Intinya: RSV bukan sekadar batuk dan pilek ringan. Pada bayi, khususnya yang berusia di bawah enam bulan atau memiliki faktor risiko lainnya, virus ini bisa berkembang menjadi kondisi serius seperti bronkiolitis atau pneumonia. Gejala penting yang perlu diwaspadai adalah batuk yang makin parah, demam, napas cepat atau berbunyi, dan tarikan otot napas.
Data global menunjukkan bahwa intervensi baru (vaksin ibu hamil, antibodi monoklonal) mulai berhasil menurunkan tingkat rawat inap bayi akibat RSV. Namun, di Indonesia masih banyak tantangan, dan kasus bisa saja tidak terdeteksi secara spesifik. Karena itu, sebagai orang tua atau pengasuh, Anda berperan besar dalam mencegah, mengenali gejala awal, dan membawa bayi ke dokter bila ada tanda-bahaya.
Mari kita jaga bayi kita dengan penuh perhatian:
-
Disiplin terhadap kebersihan,
-
Hindari paparan risiko,
-
Observasi secara aktif,
-
Segera ke dokter jika ada kekhawatiran.
Dengan begitu, kita bisa membantu melindungi bayi dari bahaya RSV — dan memastikan ia tumbuh sehat tanpa gangguan pernapasan yang berat.
Komentar0