
Oleh: Ria D. Astika
Bukakabar - Dalam konteks Anugerah Pewarta Astra yang diselenggarakan oleh Astra, tulisan Ria D. Astika akan mengupas lebih dalam tentang bagaimana inisiatif Rengkuh Banyu Mahandaru tidak hanya menebar berkah bagi masyarakat, tetapi juga memberikan kontribusi signifikan terhadap upaya pelestarian lingkungan.
Dengan menjelajahi berbagai aspek dari program ini, diharapkan pembaca dapat memahami pentingnya peran serta setiap individu dalam menjaga kelestarian alam sekaligus memanfaatkan sumber daya secara bijaksana.
Rengkuh Banyu Mahandaru: Menebar Berkah dari Pelepah dan Menjadi Solusi Lingkungan
Keresahan terhadap tumpukan kemasan sekali pakai yang merusak lingkungan membawa Rengkuh Banyu Mahandaru pada sebuah perjalanan transformatif. Bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi untuk komunitas, petani, dan masa depan bumi. Lahir dari keresahan sederhana saat memesan makanan secara online, lahirlah Plepah sebuah startup kemasan makanan yang berbahan utama pelepah pohon pinang.
Rengkuh bukan lahir dari aktivis lingkungan. Ia bekerja sebagai desainer produk 3D pada sebuah perusahaan swasta. Namun, satu momen menjadi titik balik: saat dirinya menyelam di laut Wakatobi, bukan ikan yang ditemui, melainkan tumpukan styrofoam dan plastik. Perasaan bersalah dan kekhawatiran membuncah. Kembali ke Jakarta, ia menyadari kemasan makanan sekali pakai telah menjadi masalah serius di kota besar .
Nyaris setiap pesanannya datang dengan berlapis styrofoam, hingga satu porsi makanan bisa membuang tiga kemasan kecil. Dari situ muncul pertanyaan: apakah ada alternatif yang ramah lingkungan, estetik, dan bisa terurai? Inspirasi datang dari perjalanan ke India, di mana makanan dihidangkan di atas piring dari dedaunan yang bisa dibuang langsung dan mudah terurai. Rengkuh menemukan kesamaan tradisi di Indonesia: daun pisang dan jati yang masih digunakan sebagian masyarakat. Namun kelemahannya adalah daya tahan dan estetika. Di sinilah muncul ide untuk memanfaatkan pelepah pinang yang selama ini dianggap limbah organik tak bernilai.
Plepah: Dari Limbah Jadi Berkah Ekonomi
Rengkuh memilih pelepah pohon pinang sebagai bahan baku utama. Di Jambi dan Sumatera Selatan, pohon pinang tumbuh subur dan banyak ditemukan, sementara pelepahnya sering dibuang atau dibakar begitu saja. Rengkuh memulai riset bersama NGO konservasi hutan, botani, hingga pengembangan material. Ia merancang sistem manufaktur mikro di Desa Mendis yang memanfaatkan pelepah pinang menjadi kemasan makanan ramah lingkungan bernama Plepah.
Dengan pendekatan berbasis komunitas, Plepah menggandeng ratusan petani. Awalnya hanya 12 hingga 15 kepala keluarga, namun kini sudah melibatkan 3.176 petani dari 854 keluarga di Jambi dan Sumatera Selatan. Petani yang sebelumnya hanya mendapat bayaran sekitar Rp 2.000 per kilogram pelepah, kini memperoleh penghasilan tambahan sekitar Rp 1,5 juta hingga Rp 3 juta per bulan.
Produk Plepah memiliki keunggulan teknis. Produk bisa menahan panas hingga 200°C, tahan digunakan dalam microwave selama 4 menit, serta oven 20-45 menit. Selain itu, kemasan dapat terurai secara alami dalam 60 hari dan disterilisasi menggunakan sinar UV untuk menjaga kebersihan. Produk ini cocok digunakan untuk makanan berkuah maupun panas tanpa merusak lingkungan. Kini, Plepah memproduksi 2.000–5.000 kontainer makanan per minggu, atau lebih dari 100.000 per bulan, dengan stok produksinya terpakai hingga 80% kapasitas pabrik. Namun tantangan utama tetap adalah menjadikan produk ini lebih ekonomis agar bisa bersaing dengan plastik dan styrofoam.
Menembus Pasar Internasional: dari Jambi hingga Jepang dan Australia
Initialnya Plepah ditujukan untuk pasar lokal, namun harga jual yang relatif tinggi sekitar Rp 3.500 hingga Rp 5.500 per produk menutup peluang pasar domestik. Namun Rengkuh tidak menyerah. Ia membawa Plepah menembus pasar ekspor ke Jepang, Australia, Jerman, Swedia, Kanada, dan Belanda. Kini permintaan telah mencapai kontainer distribusi tiap negara sekitar 200.000 produk, dan omzet domestik telah mencapai Rp 300 juta per bulan .
Perjalanan Plepah tidak mudah. Awalnya masyarakat lokal menganggap pelepah pinang tidak bernilai, sehingga meyakinkan mereka untuk menyediakan bahan baku adalah tantangan tersendiri. Selain itu, pendanaan terbatas dan sulit menyampaikan nilai superior produk eco-friendly kepada pelanggan yang sudah terbiasa membeli styrofoam seharga Rp 250 per buah menjadi hambatan besar.
Namun Rengkuh memiliki prinsip: ekonomi hijau juga harus sehat. Ia tak puas hanya memberi nilai tambah lingkungan; alurnya juga harus memberikan benefit ekonomi jangka panjang bagi petani dan komunitas lokal.
Apresiasi Nasional: SATU Indonesia Awards 2023
Dedikasi Rengkuh mendapat pengakuan dalam SATU Indonesia Awards 2023 dari Pewarta Astra, di kategori kelompok “Pejuang Lingkungan Bermodal Limbah Pelepah”. Penghargaan ini bukan sekadar simbol, tetapi juga membuka jaringan kolaborasi baru, dukungan moral, dan peluang pengembangan lebih luas bagi Plepah serta komunitas yang terlibat.
Rengkuh mengubah keresahan menjadi inovasi nyata. Ia menggabungkan aspek desain produk, preservasi alam, serta advokasi ekonomi lokal. Filosofi di balik Plepah adalah bahwa masalah lingkungan tak harus dinilai sebagai beban, melainkan sebagai peluang nilai tambah. Dengan kepekaan desain dan pendekatan sosial, sampah agrikultur bisa jadi ekonomis dan bernilai manfaat nyata bagi masyarakat.
Kini Plepah tumbuh sebagai contoh inovasi sosial-ekonomi: dari modal ide sederhana, menjadi produk efisien yang menyejahterakan petani, mengurangi sampah plastik, serta membawa puluhan ribu kemasan makanan ke pasar internasional.
Kisah Rengkuh Banyu Mahandaru menunjukkan satu hal: inovasi yang lahir dari keresahan dan ketekunan bisa menghasilkan dampak luas, lingkungan, ekonomi, dan sosial. Ketika kita melihat sampah hanya sebagai masalah, Rengkuh melihat potensi. Ketika sistem belum ada, ia membangunnya bersama masyarakat.
Plepah bukan sekadar kemasan: ia simbol gerakan baru di era konsumsi plastik tinggi. Ia membuktikan bahwa kreativitas, kolaborasi komunitas, dan semangat untuk memberi dapat mengubah limbah menjadi berkah. Rengkuh mengajarkan bahwa kita semua bisa memulai dari kecil—dengan konsumsi lebih sadar, dengan dukungan lokal, dan dengan keberanian berinovasi.
Harapan ke depan tentu besar: menurunkan jejak plastik, memperkuat ekonomi lokal berbasis bahan alami, dan menginspirasi praktik lingkungan yang lestari. Jika Rengkuh bisa memulai dari keresahan sederhana, maka kita semua bisa mulai dari langkah kecil: memilih kemasan berdampak, mendukung produk lokal, dan menjaga bumi yang kita warisi.
Komentar0