BUA0GUMiGfG7TfY6TSY7Tpr7GA==

Menguak Sejarah Hari Raya Waisak: Lebih dari Sekadar Hari Libur Nasional

Menguak Sejarah Hari Raya Waisak

Bukakabar -  Kalau ngomongin bulan Mei, pasti yang langsung terlintas di pikiran banyak orang adalah momen-momen libur nasional. Salah satunya adalah Hari Raya Waisak. Buat kamu yang bukan penganut Buddha, mungkin Hari Waisak hanya dianggap sebagai hari libur biasa. Tapi buat umat Buddha, hari ini punya makna yang sangat dalam dan sakral. 

Bukan cuma hari biasa, tapi hari suci yang dipenuhi dengan doa, renungan, dan perenungan spiritual. Tahun ini, Hari Raya Waisak jatuh pada Senin, 12 Mei 2025. Pemerintah juga udah menetapkannya sebagai hari libur nasional lewat SKB Tiga Menteri.

Tapi, pernah nggak sih kamu kepikiran tentang sejarahnya? Kenapa hari itu dirayakan? Apa yang membuat Hari Raya Waisak begitu penting bagi umat Buddha di seluruh dunia? Nah, lewat artikel ini, kita bakal kupas tuntas sejarah Hari Waisak dari awal mula sampai sekarang. 

Jangan khawatir, kita bahasnya dengan bahasa yang santai dan ringan, biar kamu bisa baca sambil ngopi atau rebahan. Yuk, langsung kita telusuri perjalanan panjang dan menarik dari Hari Raya Waisak.

Trisuci Waisak: Tiga Momen Sakral dalam Satu Hari

Hari Raya Waisak itu unik banget, karena memperingati tiga peristiwa penting sekaligus. Bukan cuma ulang tahun atau hari wafat seseorang, tapi tiga kejadian besar yang semuanya terjadi pada hari purnama di bulan Waisak (biasanya Mei). Tiga peristiwa itu dikenal dengan sebutan “Trisuci Waisak”.

Pertama, kelahiran Siddharta Gautama. Ia lahir sekitar tahun 623 SM di sebuah taman yang indah bernama Lumbini, yang sekarang berada di wilayah Nepal. Diceritakan, saat lahir, Siddharta bisa langsung berdiri dan berjalan. Bahkan, setiap langkahnya menumbuhkan bunga teratai. Cerita ini nggak cuma sekadar dongeng, tapi simbol bahwa sejak awal, ia sudah punya misi besar di dunia.

Kedua, pencapaian pencerahan agung atau yang disebut juga sebagai “Bodhi”. Ini terjadi saat Siddharta berusia 35 tahun. Setelah meninggalkan kehidupan istana dan menjalani pertapaan yang panjang, ia akhirnya menemukan jalan tengah dan mencapai pencerahan di bawah pohon Bodhi di Bodh Gaya, India. Sejak saat itu, ia dikenal sebagai Sang Buddha, yang berarti “yang telah tercerahkan”.

Ketiga, wafatnya Sang Buddha atau Parinibbana. Peristiwa ini terjadi ketika beliau berusia 80 tahun. Setelah mengajarkan Dharma selama 45 tahun, Sang Buddha meninggal dunia di Kusinara. Namun, wafatnya bukan dianggap sebagai akhir, melainkan sebagai momen kembali pada kedamaian sejati.

Tiga peristiwa besar ini semuanya jatuh di hari purnama bulan Waisak. Makanya, Hari Raya Waisak jadi sangat istimewa. Umat Buddha nggak cuma merayakan kelahiran, tapi juga pencerahan dan wafatnya tokoh utama dalam ajaran mereka. Satu hari, tiga makna. Keren banget, kan?

Dari Pangeran ke Buddha: Kisah Perjalanan Spiritual Siddharta Gautama

Sebelum jadi Buddha, Siddharta Gautama hanyalah seorang pangeran dari kerajaan kecil di India utara. Ia tumbuh dalam kemewahan dan segala kebutuhan hidupnya tercukupi. Namun, jauh di dalam hatinya, ada rasa gelisah yang nggak bisa hilang. Ia melihat bahwa hidup penuh dengan penderitaan. Ketika dia melihat orang tua, orang sakit, orang meninggal, dan seorang pertapa, hatinya tersentuh.

Itulah titik balik dalam hidupnya. Siddharta memutuskan untuk meninggalkan istana, istri, dan anaknya demi mencari jawaban atas penderitaan manusia. Ia meninggalkan kenyamanan dan memilih jalan spiritual. Ia bertapa, bermeditasi, dan berpuasa ekstrem selama bertahun-tahun.

Namun, semua itu belum membawanya pada pencerahan. Sampai akhirnya ia menyadari bahwa jalan ekstrem juga bukan solusi. Ia menemukan jalan tengah (Middle Way), yaitu hidup seimbang antara kemewahan dan penyiksaan diri. Di bawah pohon Bodhi, ia bermeditasi dengan niat kuat untuk menemukan kebenaran. Setelah beberapa malam yang penuh kontemplasi, akhirnya ia mencapai pencerahan.

Sejak itu, Siddharta menjadi Sang Buddha. Ia tidak hanya puas dengan pencerahan pribadinya. Ia membagikan ajarannya kepada dunia. Ia berjalan dari satu tempat ke tempat lain, mengajarkan Dharma kepada siapa saja yang mau belajar. Tanpa paksaan, tanpa minta bayaran. Hanya ingin membantu orang lain bebas dari penderitaan.

Konferensi Buddhis Dunia: Awal Penetapan Waisak Secara Global

Meskipun Hari Raya Waisak sudah diperingati sejak lama oleh komunitas Buddha, tapi penetapannya sebagai perayaan internasional baru terjadi pada tahun 1950. Saat itu, diadakan Konferensi Persaudaraan Buddhis Sedunia di Sri Lanka. Di sanalah disepakati bahwa Waisak dirayakan setiap purnama pertama di bulan Mei.

Konferensi itu jadi tonggak penting bagi umat Buddha sedunia. Bayangkan aja, umat Buddha dari berbagai negara, bahasa, dan tradisi bisa berkumpul dan menyepakati satu momen penting yang dirayakan bersama. Ini membuktikan bahwa semangat Buddhisme adalah tentang persatuan dan kedamaian.

Sejak saat itu, Hari Waisak nggak cuma jadi milik satu negara atau satu aliran. Tapi jadi hari suci yang diakui secara global. Mulai dari Sri Lanka, India, Thailand, hingga Indonesia, semuanya merayakan dengan cara masing-masing. Tapi tujuannya tetap sama, yaitu mengenang Sang Buddha dan ajaran Dharma-nya.

Sejarah Waisak di Indonesia: Dari Zaman Kolonial Hingga Sekarang

Di Indonesia sendiri, perayaan Hari Waisak punya sejarah panjang dan menarik. Waisak pertama kali dirayakan secara besar di Indonesia pada tahun 1929. Waktu itu, perayaan diadakan di Candi Borobudur oleh Himpunan Teosofi Hindia Belanda. Salah satu tokoh pentingnya adalah orang keturunan Eropa-Jawa yang peduli pada spiritualitas Timur.

Namun, perayaan sempat terhenti saat Indonesia mengalami masa Revolusi Kemerdekaan. Situasi politik dan keamanan waktu itu memang belum stabil, jadi kegiatan keagamaan besar belum memungkinkan. Tapi semangat umat Buddha untuk tetap merayakan Waisak tidak pernah padam.

Pada tahun 1973, ketika Candi Borobudur dipugar besar-besaran, perayaan Waisak pun dialihkan ke Candi Mendut. Meski tempatnya berbeda, maknanya tetap sama. Bahkan, setelah Candi Borobudur selesai dipugar, perayaan Waisak kembali diadakan di sana. Sampai sekarang, Candi Borobudur jadi pusat utama perayaan Waisak di Indonesia.

Umat Buddha dari seluruh Nusantara, bahkan dari luar negeri, datang ke Borobudur untuk merayakan momen suci ini. Mereka membawa lentera, bunga, dan lilin. Mereka juga mengikuti prosesi dari Candi Mendut ke Borobudur dengan berjalan kaki sambil bermeditasi dan melantunkan doa.

Ritual dan Tradisi Unik Waisak: Dari Prosesi Hingga Melepas Lampion

Perayaan Waisak selalu penuh dengan simbol dan ritual yang menyentuh hati. Di Indonesia, khususnya di Borobudur, perayaan dimulai dengan pengambilan air suci dari Umbul Jumprit di Temanggung. Air ini dianggap murni dan digunakan dalam upacara keagamaan. Selain itu, api abadi dari Mrapen, Grobogan, juga dibawa sebagai simbol penerangan.

Prosesi dimulai dari Candi Mendut, lalu berjalan kaki ke Candi Pawon, dan berakhir di Candi Borobudur. Sepanjang jalan, para bhikkhu dan umat membawa bunga, dupa, dan lilin. Mereka berjalan dalam keheningan. Tak ada suara selain langkah kaki dan doa-doa dalam hati. Suasana ini benar-benar membawa kedamaian.

Salah satu momen paling dinanti adalah pelepasan lampion. Ribuan lampion diterbangkan ke langit malam sebagai simbol harapan, doa, dan penerangan batin. Langit malam yang gelap berubah jadi lautan cahaya yang indah. Bukan hanya sekadar tradisi, tapi punya makna mendalam tentang melepaskan ego dan meraih pencerahan.

Selain prosesi dan lampion, umat juga melakukan meditasi, membaca kitab suci, dan berdana. Mereka juga mengunjungi vihara untuk bersembahyang. Intinya, Hari Waisak bukan cuma perayaan luar, tapi juga perjalanan ke dalam diri.

Perayaan Waisak di Negara Lain: Serupa Tapi Tak Sama

Meski tujuannya sama, perayaan Waisak di tiap negara punya ciri khas masing-masing. Di Thailand, misalnya, Waisak dikenal dengan nama “Visakha Bucha Day”. Umat Buddha di sana biasanya datang ke kuil, membawa bunga dan lilin, serta berkeliling kuil sebanyak tiga kali. Di Sri Lanka, Waisak dirayakan dengan mendirikan lentera warna-warni besar yang disebut “Vesak lantern”.

Di Myanmar, ada tradisi menyiram patung Buddha dengan air wangi. Ini melambangkan pembersihan batin dan penghormatan. Di Korea, festival lampion jadi bagian utama dari perayaan. Sementara di India, perayaan Waisak dilakukan di tempat-tempat bersejarah seperti Bodh Gaya dan Lumbini. Ribuan umat datang untuk berdoa dan bermeditasi bersama.

Meski cara perayaannya berbeda, semuanya punya satu benang merah. Yaitu penghormatan kepada Sang Buddha dan tekad untuk mengikuti ajaran-Nya. Dari Asia Selatan hingga Timur, dari desa hingga kota besar, semua umat Buddha bersatu dalam semangat Waisak.

Makna Mendalam di Balik Hari Waisak: Lebih dari Sekadar Seremonial

Kalau dipikir-pikir, Hari Raya Waisak itu bukan cuma soal ritual dan tradisi. Di balik semua upacara, ada pesan moral dan spiritual yang kuat. Waisak mengingatkan kita tentang pentingnya kesadaran, cinta kasih, dan kebijaksanaan. Ini adalah hari untuk merenung tentang hidup, tentang bagaimana kita bisa menjadi manusia yang lebih baik.

Sang Buddha mengajarkan bahwa hidup itu penuh penderitaan. Tapi bukan berarti kita harus putus asa. Dengan memahami penderitaan, kita bisa menemukan jalan keluar. Itulah yang disebut Jalan Mulia Berunsur Delapan. Mulai dari pandangan benar, niat benar, sampai kehidupan benar.

Waisak juga mengajak kita untuk hidup dengan penuh welas asih. Bukan cuma kepada manusia, tapi juga kepada hewan, tumbuhan, dan seluruh makhluk hidup. Dalam dunia yang makin keras dan egois ini, ajaran Buddha jadi oase yang menyejukkan.

Penutup: Menyambut Waisak dengan Hati Terbuka dan Penuh Cinta

Nah, sekarang kamu udah tahu kan, kalau Hari Raya Waisak itu bukan cuma hari libur biasa? Di baliknya ada sejarah panjang, nilai-nilai luhur, dan semangat spiritual yang kuat. Mulai dari kelahiran, pencerahan, hingga wafatnya Sang Buddha, semuanya memberi pelajaran penting buat hidup kita.

Nggak peduli kamu beragama apa, pesan-pesan universal dari Waisak tetap relevan. Tentang pentingnya kedamaian, kesadaran, dan kasih sayang. Tentang hidup sederhana tapi bermakna. Tentang mencari cahaya dalam kegelapan hidup.

Jadi, pas Waisak nanti, coba luangkan waktu sejenak buat merenung. Bukan cuma ikut liburan, tapi juga belajar dari kebijaksanaan yang telah ada sejak ribuan tahun lalu. Siapa tahu, kamu juga bisa menemukan pencerahanmu sendiri.  (Bukakabar/Admin)

Komentar0

Type above and press Enter to search.