BUA0GUMiGfG7TfY6TSY7Tpr7GA==

Wujud Allah SWT: Pendapat Ahli Sunah Waljamaah

Wujud Allah SWT: Pendapat Ahli Sunah Waljamaah

MATERI PERTEMUAN 8 KELAS XII

Wujud Allah SWT Pendapat Ahli Sunah Waljamaah

1. Pendapat Ahli Sunah Waljamaah


Sebagian dari ulama aswaja, melakukan ta’wīl –mengalihkan dari makna zahir kepada yang pantas bagi Allah SWT -terhadap ayat-ayat mutasyabihat, dan sebagian yang lain melakukan tafwīḍ –mengalihkan dari makna zahir namun tanpa penentuan makna- disertai dengan tanzīh (mensucikan Allah SWT dari hal yang tidak layak).

Adapun pembolehan ta’wīl, berdasarkan Hadis Rasulullah Saw yang mendokan Ibn Abbas: 

“Yaa Allah SWT, ajarkanlah kepada Ibn Abbas hikmah dan penta’wīlan terhadap al-Qur’an” 
(H.R. Bukhori dan Ibn Majah dan selain keduanya). 

Baik ta’wīl maupun tafwīḍ, keduanya sahsah saja dalam khazanah ke ilmuan aswaja, karena yang keliru bagi mereka adalah ketika seseorang memaknai al-Qur’an dengan dzohir lafadz, lalu meyakini bahwa itulah yang dimaksud dan bahwa itu tidak mustahil bagi Allah SWT.

Ahli sunah wal-jama’ah sangat menghindari tasybih dan tajsim bagi Allah SWT. Penolakan terhadap tasybih berlandaskan pada Q.S. as-Syura {42}: 11.

Adapun penolakan terhadap tajsim (Allah SWT berbentuk fisik, seperti dibatasi oleh ruang dan waktu), berlandaskan kepada Hadis Rasūlullāh Saw:

“Allah SWT ada pada azal (keberadaan tanpa permulaaan), sementara belum ada sesuatu apapun selainNya” (H.R. Bukhori, Ibn Jaruudi dan Baihaqi).

Selain dalil tersebut, terdapat juga Hadis Rasulullah yang lain yang memperkuat argumentasi mereka, yaitu:

"Engkaulah yang Maha dzohir, tidak ada sesuatu di atasmu, dan engkaulah yang Maha Batin, tidak ada sesuatu di bawah Mu…. " (H.R. Muslim)

Jika di atas dan di bawah Allah SWT tidak ada apa pun, maka ‘arsy pun bukan di bawah Allah SWT. Artinya Allah SWT ada tanpa tempat.

Karena pemahaman terhadap keberadaan Allah SWT, yang tanpa ruang, maka dalam menafsirkan ayat-ayat bahkan Hadis yang mengarah pada hal tersebut, maka mereka melakukan penta’wīlan atau pentafwīḍan disertai tanzīh. 

Misalnya dalam menafsirkan lafadz استوى dalam Q.S. Ta Ha : 5, mereka tidak memperbolehkan penafsiran kalimat tersebut dengan arti duduk ataupun al-Istiqrār (konstan). 

Tetapi wajib memahaminya dengan sesuatu yang pantas bagi Allah SWT menurut akal, seperti menta’wīlnya menjadi “menguasai”, atau tanpa menentukan makna pengalihan disertai sikap tanzīh yaitu mensucikan Allah SWT dari sesuatu yang menyerupai Makhluk, seperti duduk dan menetap.

Ahli Sunah Waljamaah dalam membantah dan menggugah kaum mujassimah, mereka berargument: jika memang penafsiran Q.S. Ta Ha : 5 tidak boleh dita’wīl, maka begitu pulaayat-ayat lain yang menunjukan Allah SWT bertempat juga tidak boleh dita’wīl, seperti Q.S.al-Hadid {57}: 4, dan Q.S. fuṣilat {41}: 54. 

Jika konsisten tidak ditakwil semua, maka yang terjadi adalah pertentangan dalam menentukan tempat Allah SWT, apakah di ‘arsy, bersama setiap manusia, atau meliputi semua?. Oleh karenya ta’wīl adalah suatu keharusan untuk memadukan dan menyelaraskan antara ayat satu dengan yang lain yang zahirnya saling bertentangan.

Komentar0

Type above and press Enter to search.