
MATERI PERTEMUAN 2 KELAS XII
B. Rincian Pemikiran
1. Perspektif Muktazilah
Dr. Mustafa as-Syak’ah, mengatakan bahwa, akidah Muktazilah berdiri di atas pondasi akal dan perdebatan. Bahkan di antara kaum Muktazilah -yakni sekte Jahidiyah-, mencela para fukaha dan Muhaddiṡin, seraya mengatakan bahwa mereka termasuk orang awwam, karena mereka melakukan taklid dan tidak berinovasi.
Dalam posisi atau kedudukan akal -sebagaimana dikatakan oleh al-Syahrastani-, Mereka (Muktazilah) sepakat bahwa meskipun wahyu belum diturunkan, manusia pasti mampu mengetahui pokok-pokok makrifat (mengetahui Tuhan) dan syukur atas anugerah nikmat yang Tuhan berikan (kedua hal tersebut bisa diketahui melalui akal). Begitupun dengan keburukan dan kebajikan, mengikuti kebajikan dan menjauhi keburukan, merupakan hal-hal yang pasti bisa diketahui melalui akal (tidak mesti melalui wahyu). Adapun diutusnya para Nabi, tidak lebih hanya sebagai ujian dan cobaan.
Dari pernyataan para tokoh Muktazilah, sepertinya memang akal dapat mengcover segala kebutuhan manusia, lalu jika demikian, di manakah letak pentingnya wahyu bagi kaum Muktazilah?
Melirik pendapat Abdul Jabbar al-Qadhi, sebagaimana dikutip oleh Afraniyati Affan, bahwa akal hanya dapat mengetahui, bahwa yang baik itu memberikan kemaṣlahatan dan yang buruk itu mengakibatkan kerusakan (hanya secara garis besar saja), sementara yang menetapkannya secara terperinci adalah wahyu.
Abdul Jabbar Qadli juga membedakan antara perbuatanperbuatan yang dicela oleh akal (manākir ‘aqliyyah), seperti bersikap tidak adil dan berdusta, dan perbuatan-perbuatan yang dicela syariat atau wahyu (manākir syar’iyyah) seperti zina dan minum khamr.
Abdul Jabbar juga mengomentari, bahwa datang nya Rasul adalah sebagai konfirmasi dari yang telah diperoleh akal pikiran. Selain itu, menurut al-Jubai, sebagaimana dikutip oleh Afraniyati Affan, bahwa peran wahyu, selain sebagai bentuk penjelasan dan perincian terhadap baik dan jahat, juga bentuk perincian hukum dan upah yang akan diperoleh manusia di akhirat.
2. Perspektif Asy'ariah
Asyariah pada dasarnya mengakui pentingnya akal dan wahyu. Bagi mereka, dengan akal seseorang dapat mengetahui adanya Tuhan, sedangkan pengetahuan tentang baik dan jahat dan kewajiban-kewajiban manusia dapat diketahui melalui wahyu dan akal adalah bukti kebenaran wahyu.
Menurut al-Ghazali, sebagaimana dikutip oleh Afraniati Affan bahwa akal tidak dapat membawa kewajiban-kewajiban bagi manusia, kewajiban-kewajiban bagi manusia ditentukan oleh wahyu.
Al-Syahrastani juga mengatakan bahwa menurut Asyariah kewajiban seluruhnya berdasarkan wahyu, akal tidak mewajibkan apapun, dan tidak menentukan baik dan buruk. Mengetahui Allah SWT dapat diketahui melalui akal, tetapi kewajiban mengetahui Allah SWT, diketahui melalui wahyu.
Begitu pula kewajiban bersyukur kepada Allah SWT, penetapan ketaatan dan balasan bagi orang yang bermaksiat juga dapat diketahui melalui wahyu, bukan akal”.
Meskipun demikian, bukan berarti Asyariah menyepelekan akan peranan akal pikiran. Salah seorang tokoh Asyariah yaitu Abu Qasim SulaIman bin Nasir al-Ansori dalam menulis kitabnya (Gunyah fii kalam), beliau justru menyediakan sub khusus yang membahas tentang pentingnya argumentasi akliah.
3. Perspektif Maturidiyah
Sebagaimana Asyariah, Maturidiyah pun mendasarkan pemikirannya pada al-Qur’an dan wahyu. Masalah yang berkaitan dengan kewajiban, bagi Maturidiah, hanyalah bisa diketahui melalui wahyu.
Maturidiah juga mengakui bahwa tidak segala sesuatu bisa dikenali baik dan buruknya oleh akal.
Maturidiah juga mengakui bahwa tidak segala sesuatu bisa dikenali baik dan buruknya oleh akal.
Maturidiyah membagi sesuatu yang berkaitan dengan akal ke dalam 3 bagian, yaitu:
1) Sesuatu yang hanya bisa diketahui kebaikannya oleh akal
2) Sesuatu yang hanya bisa diketahui keburukannya oleh akal
3) Sesuatu yang tidak bisa diketahui kebaikan dan keburukannya oleh akal, kecuali setelah ada petunjuk wahyu. (Bukakabar/Admin)
1) Sesuatu yang hanya bisa diketahui kebaikannya oleh akal
2) Sesuatu yang hanya bisa diketahui keburukannya oleh akal
3) Sesuatu yang tidak bisa diketahui kebaikan dan keburukannya oleh akal, kecuali setelah ada petunjuk wahyu. (Bukakabar/Admin)
Komentar0